Assalamualaikum ^^
Lama tak jumpa dan isi blog ini. Rasanya ada banyak hal yang ingin kubagi dan kutulis di sini, agar bisa menjadi sebuah kisah yang abadi.
Happy Reading…
Mungkin jika hari itu aku tidak membuka Twitter, aku akan tetap berada dalam keputusasaan.
Mungkin jika aku tak membaca reply darinya, aku berada dalam kelelahan tak berujung.
Mungkin, jika hari itu ia tidak mengucapkan kalimat itu, aku akan terus bersedih dan ingin menyerah.
“Semangat dan sehat, Ibu Hebat.”
Byar!!!
Entah air mataku menetes atau tidak. Tapi yang pasti, hatiku merasa ada yang datang menghangatkan. Senyum tiba-tiba mengembang. Rasanya sangat terharu.
Kalimat sederhana, tapi bermakna banyak. Kembali menyelamatkanku dari rentetan panjang tangisanku yang hampir satu bulan aku lakukan dalam hening.
Aku hampir menyerah, dengan lahirnya anak kedua, diusia kakaknya yang baru dua tahun. Aku hampir menyerah dan diselimuti rasa bersalah kepada anakku yang pertama karena tak lagi bisa menemaninya.
Hari-hari kelahiran anak keduaku. Penuh cerita. Ia lahir, hari Jum’at. Dalam hati terbesit anak pertamaku yang seakan dia tahu, bahwa ia tak boleh merepotkan aku dan ayahnya. Ia anak baik yang tidak pernah menangis, selalu dipenuhi kebahagiaan anak-anak.
Ketika anak kedua lahir, jahitan lebih banyak. Sakit. Aku mengeluh setiap hari, setiap saat. Bahkan untuk bergeser tempat duduk saja, aku merintih. Rasanya seperti bukan diriku yang kuat dengan berbagai rasa sakit. Bahkan ASI tidak keluar. Aku mencoba untuk tetap tenang.
Dan lagi-lagi, aku menyembunyikan semua rasa hampir frustasiku. Pendam dan pendam, dan menangis kala sendirian. Tak kubagi dengan siapa pun, bahkan suamiku.
Berjalan sepekan, aku semakin ingin menyerah. Aku lelah dengan semuanya. Anak pertamaku lebih sering menangis, merasa bahwa Mamanya tak lagi bersamanya. Aku pun ikut menangis, setelah mereka semua tertidur. Entah… Berapa kali aku mencoba untuk berpura-pura kuat. Dan menerima keadaan ini.
Hampir satu bulan, dan aku masih belum bisa menerima hadirnya anak keduaku. Aku tak mau menyusui langsung. Hanya kuberikan botol. Jahitan yang kuterima rasanya masih terasa sakit.
Lemah!
Batinku…
Aku selalu menyalahkan diriku, menyalahkan takdirku. Bahkan aku tak mau bersyukur atas hadirnya anak keduaku. Masih terus mengelak bahwa ini bukan yang terbaik. Berkali-kali aku mencoba untuk ikhlas dan berkali-kali juga aku menolak.
Rasanya seperti ingin menghilang. Resah tak berujung. Suka sekali diri ini menyimpan semuanya sendirian. Hingga akhirnya aku menulis sebuah tweet yang tak berharap ada yang me-reply nya.
Selang berapa hari…
Kawan lamaku saat SMA me-reply tweetku. Terharu… Entahlah, aku tidak kenal baik dengannya. Dia hanya teman lama, teman satu kelas, teman yang bisa dibilang aku tidak terlalu dekat dengannya. Jarang berbincang panjang atau bercerita tentang diri kita masing-masing.
Untuk pertama kalinya. Aku merasa seperti diajak untuk kembali berjuang. Merasa ada yang menghargaiku. Mengerti tentang diriku yang sangat lelah, merasa ada orang lain yang ikut membantuku. Ah… Rasanya aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya kepadanya. Entah bagaimana caranya…
Dulu, saat seseorang mengatakan semangat, aku hanya tersenyum dan tak merasa kata itu berarti. Tapi sekarang, aku merasa… Kata itu seolah menjadi tombak penghancur untuk mereka yang telah lelah…
Ah…
Terima kasih untukmu kawan. Meski rasanya terlalu berlebihan. Tapi, aku sangat berterima kasih… Semoga Allah senantiasa memberkahimu dan keluargamu. Jazakillah Khoiron Katsiro, Nai ❤️
Mulai hari itu, aku mencoba untuk membalas story IG atau WA teman-temanku dan memberikan suntikan semangat untuk mereka.
Terima kasih telah menyempatkan untuk membaca 🥰

Tinggalkan komentar