Santri Abadi Part 2

“Menghafal Al-Qur’an itu sebuah kenikmatan, bukan dijadikan beban.”

Baiklah kita akan bahas lagi tentang “Santri Abadi.”

Pada kesempatan ini saya akan menyapa seluruh pengunjung dan pembaca setia blog milik saya, siapa pun itu.

Assalamualaikum 😁”

Biasakan untuk memberikan salam kepada sesama muslim. Dan tambahkan senyum tulus untuk kawan kita. Karena dengan senyuman menambah kehangatan diantara kita.

Setelah salam, maka masuk sesi di mana perkenalan tentang apa itu pondok menurut cara pandang saya.

Pondok Pesantren.

Ada banyak kriteria pondok pesantren. Yang pertama Pesantren Modern, Pesantren Tahfidz dan lain sebagainya. Kriteria pondok ini tergantung dari kita memetakannya.

Pesantren identik dengan hidup di sebuah lingkungan, di mana di tempat itu kita belajae, tidur, makan, bersosialisasi dan melakukan segala aktifitas yang biasanya di rumah berpindah ke pesantren.

Untuk pesantren yang saya tempati adalah sebuah pondok pesantren Al-Qur’an, yang di mana tidak terlalu banyak santri di dalamnya.

Entah karena pesantren baru atau memang peminat untuk generasi muda untuk menghapal Qur’an sedikit. Wallahua’lam.

Dan kesempatan kali ini akan saya perkenalkan pesantren Qur’an yang saya tempati hampir 6 tahun.

6 tahun loh ya? Bukan 6 bulan…

6 tahun sejak pondok ini didirikan.

Sungguh sebuah perjuangan yang tidak akan terlupa.

Bagaimana bisa?

Seperti yang sudah di tulis pada post sebelumnya, saya lulus SMA dan baru memilih untuk mondok.

Bohong namanya kalau saya tidak menginginkan kuliah layaknya kawan saya yang lain. Selalu ada besitan dalam hati tentang sebuah kata, “pengen kuliah.”

Qodarullah…

Ya, semua berjalan sesuai takdir, dan itu harus kita jalani, nikmati dan syukuri 😁

Alasan memilih mondok dibanding kuliah…

Alasannya karena sebuah janji yang saya tuturkan saat saya lulus SMP. Saya berjanji pada kedua orang tua saya untuk menghafal Qur’an saat lulus SMA.

Dan Allah pun mengizinkan itu terjadi.

Awalnya saya berpikir bahwa ucapan yang saya ucapkan hanya sebagai alasan untuk tidak masuk pesantren saja. Tapi, ternyata kalimat tersebut selalu terngiang dalam benak saya.

Lulus SMA pun saya akhirnya memilih untuk mengikuti kemauan orang tua, berpikir bahwa waktu yang tersisa tidak banyak. Terlalu banyak saya bermain dengan dunia yang fana’ ini.

Ditambah lagi, saya telah lelah berkutat dengan matematika, fisika, kimia dan segala macam angka.

Tahun pertama

Karakter setiap manusia itu berbeda-beda. Ada yang ramah, cuek, mudah bergaul, pendiam dan lain sebagainya.

Saya sendiri pribadi yang tertutup dan cukup cuek. Lebih memilih damai dan menjauhi segala macam pertengkaran.

Usia saya pun termasuk usia tertua, karena banyak teman-teman satu angkatan yang baru saja lulus SD dan memilih untuk menghafal Qur’an.

Karena usia yang sudah tidak muda, mau tidak mau saya harus menjadi contoh yang baik untuk kawan yang lain. Rasanya seperti menjadi orang lain.

Terbiasa dengan keadaan yang malas untuk bergerak dan bangun siang. Atau paling bagusnya, bangun saat adzan shubuh, sholat kemudian tidur lagi menjadi rutinitas sebelum masuk pesantren.

Dan semua berubah saat masuk pesantren. Dibiasakan untuk bangun sebelum shubuh, guna melaksanakan sholat tahajud, ditemani dengan air dan hawa dingin setiap pagi.

Kawan yang lebih muda akan melihat bagaimana saya dan kawan yang seumuran saya melakukan jadwal ini, bukan semata-mata iqob yang akan diterima, melainkan karena ada rasa bertanggung jawab kepada kawan yang lebih muda.

Poin satu yang saya dapat di tahun pertama. Rasa tanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada kawan yang lain.

Selanjutnya, akan saya bahas di lain kesempatan, ini masih sedikit banget ya. Poinnya aja masih satu di tahun pertama lagi,

Komentar

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai